Selasa, 11 Oktober 2016

MAKALAH WAWASAN SENI (NILAI ESTETIS SERTA DORONGAN BERKARYA SENI DAN PERIODE SENI)

PENDIDIKAN SENI RUPA DAN KERAJINAN TANGAN SD
WAWASAN SENI
NILAI ESTETIS SERTA
DORONGAN BERKARYA SENI DAN PERIODE SENI
Makalah

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Tangan SD Prodi PGSD pada Semester Tiga Tahun Ajaran 2016/2017
Dosen Pengajar : Muhammad Reyhan Florean, M.Pd.

logo baru STKIP PGRI Tulungagung

oleh :

1.          Dicky Apria Rizki                  ( 15186206025 )
2.          Neli Olivia Sentiawati             ( 15186206028 )
3.          Dela Renita Cahyani               ( 15186206030 )
4.          Bayu Setyawan                       ( 15186206116 )

Prodi PGSD III-B
STKIP PGRI TULUNGAGUNG
Jalan Mayor Sujadi No. 7 Telp. /Fax 0355-321426
TULUNGAGUNG
2016


KATA PENGANTAR

 Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang telah diberikan kepada kami berupa makalah yang berjudul Wawasan Seni ( Nilai Estetis serta Dorongan Berkarya Seni dan Periode Seni). Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah pada Rasulullah Muhammad SAW.
Makalah ini kami susun sebagai tugas yang diberikan dari mata kuliah Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Tangan SD prodi PGSD III-B pada semester 3 tahun ajaran 2016/2017. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan kerja sama kepada :
1.      Bapak Muhammad Reyhan Florean, M.Pd. selaku dosen Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Tangan SD yang telah memberikan bimbingan dan membina penulis dalam menyelesaikan makalah ini;
2.      semua keluarga penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik material maupun yang lainnya;
3.      serta teman-teman penulis yang membantu dalam penulisan makalah ini.
Atas segala partisipasi dari semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan jazakumullahu khairan katsiraa. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan baik isi maupun bentuk penulisannya, karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat kami gunakan sebagai masukan untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Tulungagung, 26 September 2016



                                                                                                 Kelompok 2


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
                        A.        Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
                         B.        Rumusan Masalah.................................................................................. 2
                         C.        Tujuan Penulisan.................................................................................... 2
                        D.        Manfaat Penulisan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
                        A.        Nilai Estetis............................................................................................ 3
                         B.        Dorongan Berkarya Seni dan Periode Seni............................................ 9
BAB III PENUTUP 
                        A.        Kesimpulan ........................................................................................... 19
                         B.        Saran ..................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. iv
                                                                 


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah
Seni rupa dan kerajinan tangan merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diberikan bagi peserta didik di SD yang dalam penerapannya menggunakan media berupa titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap-terang. Seni rupa menurut kegunaannya dibedakan menjadi tiga yaitu seni rupa murni, seni rupa terapan, dan seni rupa desain. Seni rupa murni adalah suatu karya seni yang menggunakan media visual yang digunakan sebagai ekspresi pribadi yang hanya digunakan untuk kepuasan dirinya sendiri. Seni rupa murni terdiri dari seni lukis, seni grafis, seni patung, dan seni instalasi. Seni rupa terapan adalah karya seni rupa yang menitikberatkan pada aspek kegunaan atau fungsi. Seni rupa terapan terdiri dari karya seni kriya ( kriya kayu, kriya kulit, kriya logam, kriya keramik, dan kriya tekstil ), serta batik.  Seni rupa desain terdiri dari desain produk, desain grafis, desain arsitektur, dan desain interior-eksterior.
Seni selalu menarik untuk dibicarakan karena memiliki nilai estetis atau keindahan baik disadari atau tidak, manusia tidak dapat lepas dari seni. Melekatnya seni pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia kerap kali menyulitkan kita untuk memilah seni dan yang bukan seni. Untuk itu, perlu adanya wawasan seni sebagai cara untuk lebih memahami, mengamati, mengetahui, dan menguasai seni secara mendalam. Selain itu, juga untuk menguasai dari cara pandang, cara tinjau, cara lihat, dan cara rasa yang masuk ke dalam seni melalui alat indera.
Untuk mengetahui latar belakang penciptaan karya seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni. Terdapat 3 dorongan utama manusia, yaitu Dorongan magis dan religius (keagamaan), Dorongan untuk bermain, dan Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).
Periode Seni rupa dapat di runut sejak zaman purbakala hingga era modern. Secara garis besar, sejarah seni rupa terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut: (1) Seni Rupa Zaman Prasejarah, (2) Peradaban Bangsa-Bangsa


Kuno, (3) Seni Rupa Zaman Abad Pertengahan, (4) Seni Rupa Zaman Renaissance, (5) Seni Rupa Zaman Barok dan Rokoko, (6) Seni Rupa Abad ke-19, dan (7) Seni Rupa Abad ke-20. Oleh karena itu, kami membuat makalah dengan judul “Wawasan Seni ( Nilai Estetis serta Dorongan Berkarya Seni dan Periode Seni  ”.

 B.        Rumusan Masalah
1.          apakah yang dimaksud dengan nilai estetis?
2.          bagaimanakah dorongan berkarya seni dan periode seni?

C.        Tujuan Penulisan
1.          mengetahui apa yang dimaksud dengan nilai estetis;
2.          mengetahui dorongan berkarya seni dan periode seni.

D.        Manfaat Penulisan
1.          meningkatkan pengetahuan peserta didik tentang nilai estetis dan dorongan berkarya seni dan periode seni;
2.          membangun rasa seni, aktif, kemampuan intelektual, dan rasional pada peserta didik.















BAB II
PEMBAHASAN

A.          Nilai Estetis


Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup, sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu, kemudian orang lebih menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880 1934).
Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis, dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan "dianggap" searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja,


melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Yang kini menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan nilai? Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Kemampuan yang dipercayai ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan. Menurut kamus itu, selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu cabangnya yang disebut axiology atau kini lebih sering disebut theory of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types of value) dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of value).
Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory value, yakni nilai yang telah lengkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya yakni nilai negatif. Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan kenyataan atau


lebih lanjut antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia.
Persoalan ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang tersatu padukan, obyektif, dan aktif dari realita metafisis. Dalam hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik, dan diobyektifkan (yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebagian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik), dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derajatnya tinggi. Dalam rangka ini, jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula, nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni


mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu, kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan "teori keindahan" (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya, maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan etika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat.


Dikatakan oleh Hegel, bahwa "Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting di dalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan”. (Wadjiz 1985: 10)
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata "seni" dan "keindahan", kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indah itu bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman atau apresiasi karya kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan bahwa seni itu tidaklah harus indah”. (Read 1959: 3)
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Misalkan: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan. Dari contoh tersebut, kita dapat membedakan antara keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari, bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi atau ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang kongkrit.
Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetik elementer).
v  Ada tingkatan basis aktivitas estetik atau artistika:
1.      Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas material, warna, dan suara. Gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain.
2.      Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan. Pengorganisasian tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan dengan pertimbangan harmoni, kontras, balance, dan unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi.
3.      Tingkatan ketiga: susunan hasil presepsi (pengamatan). Pengamatan juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi yang merupakan hasil interaksi


antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa Tingkat pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang selalu kontak). Sehingga, pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya seni? Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah dari karya-karya estetik, melainkan juga menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya seni tersebut (The Liang Gie 1976: 51).
Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni, maka penghayat tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan penghayatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dalam usaha menangkap nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya seni yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut apresiasi bukanlah proses pasif tetapi merupakan proses aktif dan kreatif yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetik yang dihasilkan dari proses hayatan. (Feldman, 1981)
Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari susunan dasar seni rupa, mengenal tentang garis, shape, warna, teksture, volume, ruang, dan waktu. Penghayat harus mengetahui secara pasti asas-asas pengorganisasian; harmonis, kontras, gradasi, repetisi, serta hukum keseimbangandan unity danvariaty. Seperti yang dikatakan Stephen. C Pepper dalam The Liang Gie, bahwa Untuk mengatasi kemonotonan atau kesenadaan yang berlebihan dan juga


aspek konfusi atau kekontrasan yang berlebihan, penyusun karya harus mampu dan berusaha untuk menampilkan keanekaan (variaty) dan kesatuan (unity) yang semuanya tetap mempertimbangkan keseimbangan”. (The Liang Gie, 1976: 54.)

B.           Dorongan Berkarya Seni dan Periode Seni
v   Dorongan Berkarya Seni
Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni.
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1.      Dorongan magis dan religius (keagamaan).
Gua Zaman Prasejarah Indonesia sebagai Dorongan Magis

Relief Arjuna Zaman Hindu Bali Karya Seni Rupa (Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius






2.      Dorongan untuk bermain.

3.      Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam kehidupaan sehari-hari.

Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak kelahiran karya seni dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni di dasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.

v   Periode Seni

Kapankah seni lahir ke muka bumi? Andaikan ada pertanyaan seperti itu, maka jawabannya sangatlah mudah, seni lahir sejak manusia berada di planet bumi ini. Bagaimanakah kita membuktikannya? Sejarah telah menunjukkan
berbagai fakta tentang perkembangan kesenian sejak zaman prasejarah sampai kini.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo sapiens). Pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari untuk membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam. Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada saat itu.
Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatar belakang magis dan religius. Namun, tidak sedikit pula karya seni khususnya seni rupa yang dilatarbelakangi kepentingan praktis dan estetis saja.




Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan, diantaranya:

1.      Lukisan gua (cave painting) banyak ditemukan di Eropa dan di Indonesia dengan berbagai gaya dan bentuk dengan latar belakang magis.


2.      Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias yang menarik untuk kepentingan praktis.



3.      Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris yang artistik.

 

4.      Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam.


Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak karya seni sejarah yang lain. Perkembangan seni rupa dapat dirunut sejak zaman purbakala hingga era modern. Secara garis besar, sejarah seni rupa terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut:
1.      Seni Rupa Zaman Prasejarah
Seni rupa dapat dikatakan sebagai bagian budaya yang tua. Dalam batas-batas tertentu seni rupa telah ada sejak manusia mengenal peradaban. Karya-karya


yang dimaksud ditemukan dalam bentuk gerabah yang diberi ornament hias tertentu, patung-patung leluhur masyarakat prasejarah, serta catatan-catatan (dalam bentuk gambar) yang digoreskan pada dinding-dinding goa.


Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, ditemukan pada beberapa tempat hasil seni yang dianggap orang paling tua hingga saat ini. Penemuan tersebut merupakan lukisan-lukisan pada dinding gua-gua yang terdapat di Perancis Selatan dan Spanyol Utara seperti di Combaralles, Font de Gaume, Altamira, dan Alpera.
Lukisan-lukisan yang dibuat pada dinding-dinding dan langit-langit gua tersebut dibuat dengan digurat atau dicukil dengan batu tajam. Cukilan ini diberi warna memakai batu dangklik dicampur dengan lemak binatang sebagai perekatnya. Kebanyakan terdapat gambar-gambar binatang bison atau sapi hutan. Ada juga beruang, rusa kutub, kuda liar, dan babi hutan.
2.      Peradaban Bangsa-Bangsa Kuno
Bangsa-bangsa timur yang mendiami daerah Timur Tengah dan Asia Kecil serta daerah Mesir dikenal sebagai bangsa-bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Di mesir kita dapat menyaksikan sisa-sisa peradaban tinggi dalam bentuk karya seni arsitektur, patung, serta lukisan dinding yang bernilai tinggi seperti piramida, spinx serta relief-relief, dan lukisan pada dinding bagian dalamnya.
Selain bangsa Mesir, bangsa Babilonia, Asiria, dan Persia merupakan bangsa-bangsa yang memiliki kebudayaan yang tinggi. 




Bangsa Yunani dan Romawi sering dijadikan titik awal perkembangan seni rupa di dunia. Lukisan-lukisan karya pelukis Yunani kuno menampilkan bentuk-bentuk geometris yang diterakan pada permukaan keramik, jambangan, serta benda-benda kerajinan tangan lainnya. Sementara itu, bangsa Romawi karyanya dapat kita saksikan di dalam rumah-rumah bangsawan di kota Pompei.
3.      Seni Rupa Zaman Abad Pertengahan
Periode ini berlangsung mulai tahun 476 Masehi yakni pada awal perkembangan agama Nasrani di Romawi dan berakhir pada tahun 1492 yakni pada saat ditemukannya benua Amerika. Karya-karya seni rupa abad pertengahan banyak dipengaruhi oleh corak budaya Yuani Purba dan Romawi yang menganut kepercayaan politheisme (menyembah banyak dewa) dan dicampur dengan ajaran-ajaran Nasrani. Pada zaman ini gereja memiliki pengaruh yang sangat besar.




4.      Seni Rupa Zaman Renaissance
Zaman Renaissance merupakan zaman perubahan besar-besaran dalam berbagai bidang keilmuan dan seni budaya. Kemapanan gereja mulai terusik oleh berbagai pertentangan serta penemuan dalam bidang-bidang keilmuan.  Penemuan-penemuan baru dalam bidang geografi, fisika, astronomi telah dianggap sebagai hal yang menentang keberadapan dan kemapanan agama. Galileo (1564-1642), seorang ahli fisika, ahli astronomi dan juga filsuf, ditangkap, dan dipenjara dengan tanpa ditentukan batas waktunya karena penemuannya bertentangan dengan hukum-hukum yang dipercayai gereja.


Tokoh-tokoh seni rupa yang terkenal pada periode ini adalah Leonardo da Vinci, Michelangelo, dan Rafael Santi. Karya-karya penting pada masa ini terdapat pada bentuk-bentuk bangunan gereja, lukisan-lukisan dinding, relief pada pintu-pintu rumah, dan bangunan gereja, serta patung-patung perunggu yang menghiasi hampir seluruh gereja di Italia serta seluruh Eropa Barat dan Eropa Timur.
5.      Seni Rupa Zaman Barok dan Rokoko
Kata Barok (baroque) berasal dari bahasa Romawi yang berarti “tidak beraturan” atau “menyimpang”. Michelangelo dan Palladio dianggap sebagai pelopor dari gerakan ini. Zaman Barok terlahir pada pertengahan abad ke-16 sebagai awal mula pengaruh seni Italia ke seluruh daratan Eropa. Jika misi renaissance adalah melepaskan diri dari cara berpikir zaman pertengahan dan


dipenuhi pola pikir gereja, maka barok melepaskan diri dari keterikatan tema-tema serta nuansa-nuansa yang terkandung pada masa renaissance. Lukisan-lukisan pada zaman barok terkesan berlebihan dari keadaan sebenarnya. Peter Paul Rubens (1577-1640), seorang seniman Belanda melukiskan tubuh-tubuh orang penuh dengan otot-otot serta tokoh-tokoh perkasa.

Rococo diambil dari kata “rocaile” yang berarti seni kulit kerang, sejenis kesenian yang sangat digemari pada saat itu di Italia. Pada zaman inilah bentuk-bentuk penyelewengan kaidah seni tampil meluas. Lukisan-lukisan dibuat menjadi lebih indah dari aslinya, lebih hebat, dan menyimpang dari sebenarnya. Karya seni menjadi barang pesanan kaum bangsawan dan saudagar yang memiliki banyak uang. Pada zaman ini kkary seni diperjualbelikan secara salah dan menjadi komoditas yang tidak berharga.
6.      Seni Rupa Abad ke-19
Penggalian kembali corak-corak lama, seperti yang terdapat pada gaya-gaya Yunani Purba dan Romawi telah melahirkan aliran-aliran baru yang dikenal dengan aliran klasik dan neo klasisme dalam seni lukis dan seni patung. Beberapa catatan penting yang dapat disajikan dalam perkembangan seni rupa pada abad ke-19 ini adalah sebagai berikut:
  1. Munculnya berbagai aliran seni rupa seperti romantisme, impresionisme, realisme.
a.       Romantisme



Aliran romantisme ditandai oleh kontras cahaya yang tegas, kaya dengan warna, dan komposisi yang hidup. Aliran romantisme senantiasa memilih kejadian-kejadian dasyat sebagai tema, penuh khayal, perasaan, petualangan, dan tentang kejadian-kejadian masa kuno atau tentang negeri-negeri Timur yang fantastis. Aliran ini lebih menekankan pada bagian emosional dari tingkah laku dan sifat manusia daripada sifat yang rasional lebih mengutamakan kepercayaan dan intuisi, bukan kecerdasan. (Djauhar Arifin, 1985: 125)
b.      Impresionisme


Impresionisme adalah aliran seni rupa yang lebih mengutamakan kesan selintas pada suatu obyek yang ditunjukan atau dilukiskan. Ciri aliran seni rupa ini yang paling menonjol adalah objek yang digambarkan tidak mendetik atau agak kabur. Beberapa seniman yang menganut aliran impreionisme antara lain: Casmile Pissaro, Claude Monet, Aguste Renoir, SIsley, Kusnadi, Solichin, Edward Degas, Mary Cassat, dan Afandi.
c.       Realisme




Aliran realisme adalah aliran kenyataan (Real: Nyata) yang melukiskan kenyataan sehari-hari tanpa memberi suasana di luar kenyataan, tanpa menjiwai dengan perasaan romantis. Aliran realisme ini cenderung mengangkat tema-tema seperti kenyataan dari kepahitan hidup, penderitaan pekerja kasar, kesibukan-kesibukan kota, dan pelabuhan. (Djauhar Arifin, 1985: 131)
  1. Para pelukis semakin berani melakukan percobaan dengan berbagai penggunaan warna cerah sebagai pencurahan emosi dan pemikiran. 
  2. Seniman bukan lagi dari kalangan bangsawan atau memiliki status sosial tinggi, melainkan juga banyak yang berasal dari kalangan bawah.
Beberapa tokoh seniman yang terlahir pada abad ke-19 dan mewakili aliran-aliran yang dianutnya adalah sebagai berikut:
a.       Romantisme : Raden Saleh Sjarif Bastaman, Ludwig Richter, dan Kasper Friederich.
b.      Impresionisme : Jean Claude Monet, Eduard Manet, dll.
c.       Realisme  : George Hendrik Breitner, Auguste Rodin, dll. 
7.      Seni Rupa Abad ke-20
Dengan pecahnya Perang Dunia I, timbullah berbagai gerakan perbaikan dalam bidang seni rupa yang meliputi fisik, material, mental, dan spiritual. Berdirinya Negara-negara baru sebagai hasil perjuangan negeri-negeri jajahan bangsa Eropa telah membangkitkan semangat baru dalam bidang seni rupa.
Aliran-aliran yang bermunculan pada abad ke-20 ini, antara lain: Fauvism yang dimotori oleh Henri Matisse, dll. Kubisme menampilkan pelukis Pablo Picasso, Leo Getel, dll. Futurisme menampilkan tokoh-tokoh peuis Carlo Carra dan Buido Severini. Absolutisme menampilakan pelukis Wassily Kadinsky.


BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Nilai estetis adalah segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan. “Indah” tidak menunjuk  pada suatu ciri atau penilaian subyektif saja, melainkan menunjuk pada ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Penggolongan dari pembedaan nilai seni dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Jadi, nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Dorongan berkarya seni pada dasarnya, meliputi: (1) Dorongan magis dan religius (keagamaan); (2) Dorongan untuk bermain; dan (3) Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam kehidupaan sehari-hari.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan, diantaranya: (1) Lukisan gua dengan berbagai gaya dan bentuk dengan latar belakang magis. (2) Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias untuk kepentingan praktis. (3) Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi. (4) Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam. Sejarah seni rupa terbagi dalam beberapa periode, sebagai berikut: (1) Seni Rupa Zaman Prasejarah; (2) Peradaban Bangsa-Bangsa Kuno; (3) Seni Rupa Zaman Abad Pertengahan; (4) Seni Rupa Zaman Renaissance; (5) Seni Rupa Zaman Barok dan Rokoko; (6) Seni Rupa Abad ke-19; (7) Seni Rupa Abad ke-20.




B.         Saran
1.          Bagi Pembaca
Saran-saran yang dapat diberikan penulis pada pembaca yaitu sebagai berikut. Penulis menyarankan agar para pembaca terlebih dahulu mengerti pengertian nilai estetis serta dorongan  berkarya seni dan periode seni.
2.          Bagi Penulis
Dilihat dari hasil yang diperoleh penulis yang kurang memuaskan, alangkah baiknya bila disetiap pengerjaan makalah ini anggota kelompok saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu, penulis mengharapkan tegur dan saran dari para pembaca agar dalam penulisan selanjutnya lebih baik.
























DAFTAR RUJUKAN

Ditulis oleh Muhammad Reyhan Florean dan diambil pada hari Jumat, 23 September 2016
Ditulis oleh Wisata Pedia dan diambil pada hari Jumat, 23 September 2016
Ditulis oleh Irma Yulianti dan diambil pada hari Jumat, 23 September 2016
Ditulis oleh Moh. Muzayyin dan diambil pada hari Sabtu, 24 September 2016
Ditulis oleh Kesatria dan diambil pada hari Sabtu, 24 September 2016
Ditulis oleh Kisahasalusul dan diambil pada hari Sabtu, 24 September 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar