PENDIDIKAN SENI RUPA DAN KERAJINAN TANGAN SD
WAWASAN SENI
NILAI ESTETIS SERTA
DORONGAN BERKARYA SENI DAN PERIODE SENI
Makalah
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Seni Rupa dan Kerajinan Tangan SD Prodi
PGSD pada Semester Tiga Tahun Ajaran 2016/2017
Dosen Pengajar : Muhammad Reyhan Florean, M.Pd.

oleh :
1.
Dicky
Apria Rizki ( 15186206025 )
2.
Neli
Olivia Sentiawati ( 15186206028 )
3.
Dela Renita Cahyani (
15186206030 )
4.
Bayu Setyawan (
15186206116 )
Prodi PGSD III-B
STKIP PGRI TULUNGAGUNG
Jalan Mayor Sujadi No. 7 Telp. /Fax 0355-321426
TULUNGAGUNG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami
semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang telah diberikan kepada kami
berupa makalah yang berjudul Wawasan Seni ( Nilai Estetis serta Dorongan
Berkarya Seni dan Periode Seni). Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah
pada Rasulullah Muhammad SAW.
Makalah ini kami susun sebagai tugas yang diberikan dari mata kuliah Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Tangan
SD prodi PGSD III-B pada semester 3 tahun ajaran 2016/2017. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih atas
bimbingan dan kerja sama kepada :
1.
Bapak Muhammad
Reyhan Florean, M.Pd. selaku dosen Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Tangan SD yang
telah memberikan bimbingan dan membina penulis dalam menyelesaikan makalah ini;
2.
semua
keluarga penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik material
maupun yang lainnya;
3.
serta teman-teman penulis yang
membantu dalam penulisan makalah ini.
Atas segala partisipasi dari semua pihak yang telah membantu, kami
ucapkan jazakumullahu khairan katsiraa. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari makalah ini
sangat jauh dari kesempurnaan baik isi maupun bentuk penulisannya, karena
keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat kami gunakan sebagai masukan
untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Tulungagung, 26 September 2016
Kelompok 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................. 2
C.
Tujuan
Penulisan.................................................................................... 2
D.
Manfaat Penulisan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Nilai Estetis............................................................................................ 3
B.
Dorongan Berkarya Seni dan Periode Seni............................................ 9
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ........................................................................................... 19
B.
Saran ..................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Seni rupa dan kerajinan tangan merupakan salah
satu mata pelajaran muatan lokal yang diberikan bagi peserta didik di SD yang dalam penerapannya menggunakan media berupa
titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap-terang. Seni rupa menurut
kegunaannya dibedakan menjadi tiga yaitu seni rupa murni, seni rupa terapan, dan seni rupa desain. Seni rupa murni adalah
suatu karya seni yang menggunakan media visual yang digunakan sebagai ekspresi
pribadi yang hanya digunakan
untuk kepuasan dirinya sendiri. Seni rupa murni terdiri dari seni lukis, seni
grafis, seni patung, dan seni
instalasi. Seni rupa terapan adalah karya seni rupa yang menitikberatkan pada
aspek kegunaan atau fungsi. Seni rupa terapan terdiri dari karya seni kriya ( kriya kayu, kriya kulit, kriya
logam, kriya keramik, dan kriya
tekstil ), serta batik. Seni rupa
desain terdiri dari desain produk, desain grafis, desain arsitektur, dan desain interior-eksterior.
Seni selalu menarik untuk dibicarakan karena memiliki nilai estetis atau keindahan baik disadari atau tidak, manusia
tidak dapat lepas dari seni. Melekatnya seni pada hampir seluruh aspek
kehidupan manusia kerap kali menyulitkan kita untuk memilah seni dan yang bukan
seni. Untuk itu, perlu adanya
wawasan seni sebagai cara untuk lebih memahami, mengamati, mengetahui, dan menguasai seni secara mendalam. Selain itu, juga
untuk menguasai dari cara pandang, cara tinjau, cara lihat, dan cara rasa yang masuk ke dalam seni
melalui alat indera.
Untuk mengetahui latar
belakang penciptaan karya seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia
dalam menciptakan karya seni.
Terdapat 3 dorongan utama manusia, yaitu Dorongan magis dan religius
(keagamaan), Dorongan untuk
bermain, dan Dorongan untuk
memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).
Periode Seni rupa dapat di runut sejak zaman purbakala hingga era modern.
Secara garis besar, sejarah seni rupa terbagi dalam beberapa periode sebagai
berikut: (1)
Seni
Rupa Zaman Prasejarah, (2) Peradaban
Bangsa-Bangsa
Kuno, (3) Seni Rupa Zaman Abad Pertengahan, (4) Seni Rupa Zaman
Renaissance, (5) Seni Rupa Zaman Barok dan Rokoko, (6) Seni Rupa Abad ke-19, dan (7) Seni Rupa Abad ke-20. Oleh karena itu, kami membuat makalah dengan judul “Wawasan Seni ( Nilai Estetis serta Dorongan
Berkarya Seni dan Periode Seni ”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
apakah yang dimaksud
dengan nilai estetis?
2.
bagaimanakah dorongan
berkarya seni dan periode seni?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
mengetahui apa yang
dimaksud dengan nilai estetis;
2.
mengetahui dorongan
berkarya seni dan periode seni.
D.
Manfaat Penulisan
1.
meningkatkan pengetahuan
peserta didik tentang nilai estetis dan dorongan berkarya seni dan
periode seni;
2.
membangun rasa seni, aktif, kemampuan intelektual, dan rasional pada peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nilai Estetis

Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang
terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut
pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga
subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan
menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni
sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang
juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup,
sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah
perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk
menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu, kemudian orang lebih menerima konsepsi
tentang nilai estetis (aesthetic
value) yang dikemukakan antara lain
oleh Edward Bullough (1880 1934).
Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai
moral, nilai ekonomis, dan
nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang
tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini
keindahan "dianggap" searti dengan nilai estetis pada umumnya.
Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu
ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja,
melainkan
menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak
terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan,
karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Yang kini menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan nilai?
Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata
benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Kemampuan yang dipercayai
ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari
sesuatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan. Menurut
kamus itu, selanjutnya nilai
adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara tegas
dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu
sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai
terbukti kebenarannya. Dalam bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai
ditelaah oleh salah satu cabangnya yang disebut axiology atau kini
lebih sering disebut theory of value (teori
nilai). Problem-problem pokok yang dibahas
dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam
nilai (types of value) dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of value).
Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang
membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya
ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan
yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan
nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu
benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering
disebut instrumental (contributory)
value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai
intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu
tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini
kadang-kadang disebut juga consummatory
value, yakni nilai yang telah lengkap
atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai
intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif
(untuk sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya yakni nilai negatif. Persoalan
tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan
kenyataan atau
lebih lanjut
antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada
manusia.
Persoalan ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian
subyektivisme dan pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan
bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman
manusia mengenai nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa
nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang tersatu padukan, obyektif,
dan aktif dari realita metafisis. Dalam hubungannya dengan estetik, filsuf
Amerika George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan
dengan pencerapan dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan batasan keindahan
sebagai nilai yang positif, intrinsik, dan diobyektifkan (yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada
suatu benda).
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya
dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai
untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebagian ahli estetik pada abad 20 ini
berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang
berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti
misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik), dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan
rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai
yang derajatnya tinggi. Dalam
rangka ini, jelaslah sifat
estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena
indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula, nilai estetis tidak seluruhnya terdiri
dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif
kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai
negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan
tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda
disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan
sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini,
keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian
seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan
orang dengan karya seni
mereka.
Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan
maupun kejelekan. Oleh karena itu,
kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang
negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis
pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk
menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang
berhubungan dengan "teori keindahan" (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang
untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang
menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada
benda indah yang bersangkutan terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan
seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah
ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya.
Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang
membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan
terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya
karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan
oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada
hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda.
Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu.
Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini
diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis
sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah
sebabnya, maka estetika erat
sekali hubungannya dengan selera perasaan. Estetika timbul tatkala pikiran para
filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika
bersama dengan etika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam
ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat.
Dikatakan oleh
Hegel, bahwa "Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting di dalam ilmu ini sangat erat hubungannya
dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan”. (Wadjiz 1985: 10)
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena
kurang tertibnya menggunakan kata-kata "seni" dan
"keindahan", kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita
selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indah itu
bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman atau apresiasi karya kesenian. Herbert
Read dalam bukunya yang berjudul The
Meaning of Art mengatakan bahwa “seni itu tidaklah harus indah”. (Read 1959: 3)
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya
ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin
kita. Misalkan: bahwa tidak
semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan. Dari contoh
tersebut, kita dapat
membedakan antara keindahan
dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari, bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan
yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi atau ungkapan dari segala macam idea yang
bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang kongkrit.
Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu
tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas
artistik (estetik elementer).
v
Ada tingkatan basis aktivitas estetik atau artistika:
1.
Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas
material, warna, dan suara. Gerak sikap dan banyak lagi
sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain.
2.
Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil
pengamatan. Pengorganisasian tersebut merupakan konfigurasi
dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan dengan pertimbangan harmoni,
kontras, balance, dan unity yang
selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan
dapat terpenuhi.
3.
Tingkatan ketiga: susunan hasil presepsi (pengamatan).
Pengamatan juga dihubungkan dengan
perasaan atau emosi yang merupakan hasil interaksi
antara persepsi memori dengan persepsi visual.
Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung
relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar
belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov,
ahli psikologi, mengatakan bahwa “Tingkat
pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang
selalu kontak)”. Sehingga, pemahaman tergantung dari
manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat
menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya seni? Seseorang
tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda
estetik, melainkan juga menelaah dari karya-karya estetik, melainkan juga
menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha
untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala
psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya seni tersebut (The Liang Gie 1976: 51).
Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni, maka penghayat
tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik
merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan penghayatnya. Interaksi
tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dalam
usaha menangkap nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya seni yaitu
kondisi intelektual dan kondisi emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam
kondisi tersebut apresiasi bukanlah proses pasif tetapi merupakan proses aktif
dan kreatif yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetik yang dihasilkan dari
proses hayatan. (Feldman, 1981)
Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus
terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari susunan
dasar seni rupa, mengenal tentang garis, shape, warna,
teksture, volume, ruang, dan
waktu. Penghayat harus mengetahui secara pasti asas-asas pengorganisasian;
harmonis, kontras, gradasi, repetisi, serta hukum keseimbangan, dan unity danvariaty. Seperti
yang dikatakan Stephen. C Pepper dalam The
Liang Gie, bahwa “Untuk
mengatasi kemonotonan atau kesenadaan yang berlebihan dan juga
aspek konfusi
atau kekontrasan yang berlebihan, penyusun karya harus mampu dan berusaha untuk
menampilkan keanekaan (variaty) dan
kesatuan (unity) yang
semuanya tetap mempertimbangkan keseimbangan”. (The
Liang Gie, 1976: 54.)
B.
Dorongan Berkarya Seni dan Periode Seni
v Dorongan Berkarya Seni
Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya seni, maka
kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni.
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1.
Dorongan magis dan religius (keagamaan).

Gua Zaman Prasejarah Indonesia sebagai Dorongan Magis

Relief Arjuna Zaman Hindu Bali Karya Seni Rupa (Arsitektur)
dilatarbelakangi Dorongan Religius
2.
Dorongan untuk bermain.
3. Dorongan
untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam kehidupaan sehari-hari.
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak
kelahiran karya seni dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan
karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni di dasari berbagai dorongan berdasarkan misi
dan visinya.
v
Periode Seni
Kapankah seni lahir ke muka bumi? Andaikan ada pertanyaan seperti itu,
maka jawabannya sangatlah mudah, seni lahir sejak manusia berada di planet bumi
ini. Bagaimanakah kita membuktikannya? Sejarah telah menunjukkan
berbagai fakta
tentang perkembangan kesenian sejak zaman prasejarah sampai kini.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo sapiens). Pertama,
dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya yang dibuat lebih
banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari untuk membantu tubuh dalam
menghadapi tantangan alam. Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia
prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan
totemisme sudah ada pada saat itu.
Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya dan kita
sering mengatakan bahwa karya itu berlatar belakang
magis dan religius. Namun,
tidak sedikit pula karya seni khususnya seni rupa yang dilatarbelakangi
kepentingan praktis dan estetis saja.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan, diantaranya:
1. Lukisan
gua (cave painting) banyak ditemukan
di Eropa dan di Indonesia dengan berbagai gaya dan bentuk dengan latar belakang
magis.

2. Bejana
keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias yang menarik untuk kepentingan
praktis.

3.
Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi
yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris yang artistik.

4.
Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata, serta
perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam.

Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak karya seni
sejarah yang lain. Perkembangan seni rupa dapat dirunut sejak
zaman purbakala hingga era modern. Secara garis besar, sejarah seni rupa
terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut:
1.
Seni Rupa Zaman Prasejarah
Seni rupa dapat
dikatakan sebagai bagian budaya yang tua. Dalam batas-batas tertentu seni rupa
telah ada sejak manusia mengenal peradaban. Karya-karya
yang dimaksud ditemukan dalam
bentuk gerabah yang diberi ornament hias tertentu, patung-patung leluhur
masyarakat prasejarah, serta catatan-catatan (dalam bentuk gambar) yang
digoreskan pada dinding-dinding goa.
Pada akhir abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20, ditemukan pada beberapa tempat hasil seni yang
dianggap orang paling tua hingga saat ini. Penemuan tersebut merupakan
lukisan-lukisan pada dinding gua-gua yang terdapat di Perancis Selatan dan
Spanyol Utara seperti di Combaralles, Font de Gaume, Altamira, dan Alpera.
Lukisan-lukisan
yang dibuat pada dinding-dinding dan langit-langit gua tersebut dibuat dengan
digurat atau dicukil dengan batu tajam. Cukilan ini diberi warna memakai batu
dangklik dicampur dengan lemak binatang sebagai perekatnya. Kebanyakan terdapat
gambar-gambar binatang bison atau sapi hutan. Ada juga beruang, rusa kutub,
kuda liar, dan babi hutan.
2.
Peradaban Bangsa-Bangsa Kuno
Bangsa-bangsa
timur yang mendiami daerah Timur Tengah dan Asia Kecil serta daerah Mesir
dikenal sebagai bangsa-bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Di mesir kita
dapat menyaksikan sisa-sisa peradaban tinggi dalam bentuk karya seni
arsitektur, patung, serta lukisan dinding yang bernilai tinggi seperti
piramida, spinx serta relief-relief, dan
lukisan pada dinding bagian dalamnya.
Selain bangsa
Mesir, bangsa Babilonia, Asiria, dan Persia merupakan bangsa-bangsa yang
memiliki kebudayaan yang tinggi.
Bangsa Yunani
dan Romawi sering dijadikan titik awal perkembangan seni rupa di dunia.
Lukisan-lukisan karya pelukis Yunani kuno menampilkan bentuk-bentuk geometris
yang diterakan pada permukaan keramik, jambangan, serta benda-benda kerajinan
tangan lainnya. Sementara itu, bangsa Romawi karyanya dapat kita saksikan di
dalam rumah-rumah bangsawan di kota Pompei.
3.
Seni Rupa Zaman Abad Pertengahan
Periode ini
berlangsung mulai tahun 476 Masehi yakni pada awal perkembangan agama Nasrani di Romawi dan berakhir pada
tahun 1492 yakni pada saat ditemukannya benua Amerika. Karya-karya seni rupa
abad pertengahan banyak dipengaruhi oleh corak budaya Yuani Purba dan Romawi
yang menganut kepercayaan politheisme (menyembah banyak dewa) dan dicampur
dengan ajaran-ajaran Nasrani. Pada zaman ini gereja memiliki pengaruh yang
sangat besar.
4.
Seni Rupa Zaman Renaissance
Zaman Renaissance
merupakan zaman perubahan besar-besaran dalam berbagai bidang keilmuan dan seni
budaya. Kemapanan gereja mulai terusik oleh berbagai pertentangan serta
penemuan dalam bidang-bidang keilmuan.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang geografi, fisika, astronomi telah
dianggap sebagai hal yang menentang keberadapan dan
kemapanan agama. Galileo (1564-1642), seorang ahli fisika, ahli astronomi dan
juga filsuf, ditangkap, dan
dipenjara dengan tanpa ditentukan batas waktunya karena penemuannya
bertentangan dengan hukum-hukum
yang dipercayai gereja.
Tokoh-tokoh
seni rupa yang terkenal pada periode ini adalah Leonardo da Vinci,
Michelangelo, dan Rafael Santi. Karya-karya penting pada masa ini terdapat pada
bentuk-bentuk bangunan gereja, lukisan-lukisan dinding, relief pada pintu-pintu
rumah, dan bangunan gereja, serta
patung-patung perunggu yang menghiasi hampir seluruh gereja di Italia serta
seluruh Eropa Barat dan Eropa Timur.
5.
Seni Rupa Zaman Barok dan Rokoko
Kata Barok
(baroque) berasal dari bahasa Romawi yang berarti “tidak beraturan” atau
“menyimpang”. Michelangelo dan Palladio dianggap sebagai pelopor dari gerakan
ini. Zaman Barok terlahir pada pertengahan abad ke-16 sebagai awal mula
pengaruh seni Italia ke seluruh daratan Eropa. Jika misi renaissance adalah
melepaskan diri dari cara berpikir zaman pertengahan dan
dipenuhi pola pikir gereja, maka
barok melepaskan diri dari keterikatan tema-tema serta nuansa-nuansa yang
terkandung pada masa renaissance. Lukisan-lukisan pada zaman barok terkesan
berlebihan dari keadaan sebenarnya. Peter Paul Rubens (1577-1640), seorang
seniman Belanda melukiskan tubuh-tubuh orang penuh dengan otot-otot serta
tokoh-tokoh perkasa.
Rococo diambil
dari kata “rocaile” yang berarti seni kulit kerang, sejenis kesenian yang
sangat digemari pada saat itu di Italia. Pada zaman inilah bentuk-bentuk
penyelewengan kaidah seni tampil meluas. Lukisan-lukisan dibuat menjadi lebih
indah dari aslinya, lebih hebat, dan menyimpang dari sebenarnya. Karya seni
menjadi barang pesanan kaum bangsawan dan saudagar yang memiliki banyak uang.
Pada zaman ini kkary seni diperjualbelikan secara salah dan menjadi komoditas
yang tidak berharga.
6.
Seni Rupa Abad ke-19
Penggalian
kembali corak-corak lama, seperti yang terdapat pada gaya-gaya Yunani Purba dan
Romawi telah melahirkan aliran-aliran baru yang dikenal dengan aliran klasik dan neo klasisme dalam seni lukis dan
seni patung. Beberapa catatan penting yang dapat disajikan dalam perkembangan
seni rupa pada abad ke-19 ini adalah sebagai berikut:
- Munculnya berbagai aliran seni rupa seperti romantisme, impresionisme,
realisme.
a. Romantisme

Aliran romantisme ditandai oleh kontras cahaya yang tegas, kaya dengan
warna, dan komposisi yang
hidup. Aliran romantisme senantiasa memilih kejadian-kejadian dasyat sebagai
tema, penuh khayal, perasaan,
petualangan, dan tentang
kejadian-kejadian masa kuno atau tentang negeri-negeri Timur yang fantastis.
Aliran ini lebih menekankan pada bagian emosional dari tingkah laku dan sifat
manusia daripada sifat yang rasional lebih mengutamakan kepercayaan dan
intuisi, bukan kecerdasan. (Djauhar Arifin, 1985: 125)
b. Impresionisme
Impresionisme adalah aliran seni rupa yang lebih
mengutamakan kesan selintas pada suatu obyek yang ditunjukan atau dilukiskan.
Ciri aliran seni rupa ini yang paling menonjol adalah objek yang digambarkan
tidak mendetik atau agak kabur. Beberapa seniman yang menganut aliran
impreionisme antara lain: Casmile
Pissaro, Claude Monet, Aguste Renoir, SIsley, Kusnadi, Solichin, Edward Degas,
Mary Cassat, dan Afandi.
c. Realisme

Aliran realisme adalah aliran kenyataan (Real: Nyata) yang melukiskan kenyataan sehari-hari tanpa memberi
suasana di luar kenyataan, tanpa
menjiwai dengan perasaan romantis. Aliran realisme ini cenderung mengangkat
tema-tema seperti kenyataan dari kepahitan hidup, penderitaan pekerja kasar,
kesibukan-kesibukan kota, dan
pelabuhan. (Djauhar Arifin, 1985: 131)
- Para pelukis semakin berani melakukan percobaan dengan berbagai
penggunaan warna cerah sebagai pencurahan emosi dan pemikiran.
- Seniman bukan lagi dari kalangan bangsawan atau memiliki status sosial tinggi, melainkan juga banyak yang
berasal dari kalangan bawah.
Beberapa tokoh
seniman yang terlahir pada abad ke-19 dan mewakili aliran-aliran yang dianutnya
adalah sebagai berikut:
a.
Romantisme
: Raden Saleh Sjarif Bastaman, Ludwig Richter, dan Kasper Friederich.
b.
Impresionisme
: Jean Claude Monet, Eduard Manet, dll.
c.
Realisme : George Hendrik Breitner, Auguste Rodin,
dll.
7.
Seni Rupa Abad ke-20
Dengan pecahnya
Perang Dunia I, timbullah berbagai gerakan perbaikan dalam bidang seni rupa
yang meliputi fisik, material, mental, dan spiritual. Berdirinya Negara-negara
baru sebagai hasil perjuangan negeri-negeri jajahan bangsa Eropa telah
membangkitkan semangat baru dalam bidang seni rupa.
Aliran-aliran
yang bermunculan pada abad ke-20 ini,
antara lain: Fauvism yang dimotori oleh Henri Matisse, dll.
Kubisme menampilkan pelukis Pablo Picasso, Leo Getel, dll. Futurisme
menampilkan tokoh-tokoh peuis Carlo Carra dan Buido Severini. Absolutisme
menampilakan pelukis Wassily Kadinsky.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nilai estetis adalah segala
sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan. “Indah” tidak menunjuk pada suatu ciri atau penilaian subyektif saja, melainkan menunjuk pada
ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai
suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Penggolongan dari pembedaan nilai seni
dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah
sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana
untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai
yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan
sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi
kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Jadi, nilai estetis pada umumnya kini
diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu
pengalaman estetis.
Dorongan berkarya seni pada dasarnya, meliputi: (1) Dorongan
magis dan religius (keagamaan); (2)
Dorongan untuk bermain; dan (3)
Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam kehidupaan sehari-hari.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan, diantaranya: (1) Lukisan gua dengan berbagai gaya
dan bentuk dengan latar belakang magis. (2) Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias untuk
kepentingan praktis. (3)
Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi. (4) Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik),
senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu
atau logam. Sejarah seni rupa terbagi
dalam beberapa periode, sebagai
berikut: (1) Seni Rupa Zaman Prasejarah; (2) Peradaban Bangsa-Bangsa Kuno; (3) Seni Rupa Zaman Abad
Pertengahan; (4) Seni
Rupa Zaman Renaissance;
(5) Seni
Rupa Zaman Barok dan Rokoko; (6) Seni Rupa Abad ke-19; (7) Seni Rupa Abad ke-20.
B.
Saran
1.
Bagi Pembaca
Saran-saran
yang dapat diberikan penulis pada pembaca yaitu sebagai berikut. Penulis
menyarankan agar para pembaca terlebih dahulu mengerti pengertian nilai estetis serta dorongan
berkarya seni dan periode seni.
2.
Bagi Penulis
Dilihat dari hasil yang diperoleh penulis yang kurang memuaskan,
alangkah baiknya bila disetiap pengerjaan makalah ini anggota kelompok saling
mendukung satu sama lain. Oleh karena itu, penulis mengharapkan tegur dan saran
dari para pembaca agar dalam penulisan selanjutnya lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN
Ditulis
oleh Muhammad Reyhan Florean dan diambil pada hari Jumat, 23 September 2016
Ditulis
oleh Wisata Pedia dan diambil pada hari Jumat, 23 September 2016
Ditulis
oleh Irma Yulianti dan diambil pada hari Jumat, 23 September 2016
Ditulis
oleh Moh. Muzayyin dan diambil pada hari Sabtu, 24 September 2016
Ditulis
oleh Kesatria dan diambil pada hari Sabtu, 24 September 2016
Ditulis
oleh Kisahasalusul dan diambil pada hari Sabtu, 24 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar